MENGAPA PEMILU HARUS 1 PUTARAN ? DETEKSI DINI POTENSI “GANGGUAN NYATA”

Artikel Berita dan Informasi

OPINI

Penulis: Rizky Anugrah Perdana, S.H.

Profesi: PNS Pemkab Belitung

 

MENGAPA PEMILU HARUS 1 PUTARAN ?

DETEKSI DINI POTENSI “GANGGUAN  NYATA” APABILA SKENARIO PEMILU 2024 DILAKSANAKAN 2 PUTARAN

(BERKACA DARI PILKADA DKI JAKARTA 2017)

Pemilu dua putaran adalah sistem pemilihan umum yang dilakukan jika pada pemilu putaran pertama pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden belum ada yang berhasil memperoleh suara dengan jumlah minimal mayoritas suara untuk memenangkan pemilihan, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 416 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, pemilu putaran kedua dilakukan jika tidak ada salah satu paslon yang berhasil memperoleh jumlah suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Pelaksanaan pemilu putaran kedua diikuti oleh paslon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua. Selanjutnya, paslon yang memperoleh suara terbanyak dalam putaran kedua tidak lagi mempertimbangkan persebaran perolehan suara lebih dari 50 persen dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Banyak survey yang dilakukan menyebutkan bahwa Pemilu 2024 berpotensi dilaksanakan 2 putaran, salah satunya Peneliti Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan (LKSP) Subhan Akbar memprediksi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 akan berlangsung dua putaran. Prediksi ini disampaikan Subhan dalam Diskusi Publik Hasil Survei Nasional bertema “Kejutan Pemilu 2024”. Ia mengungkapkan, hasil survei popularitas dan elektabilitas tiga pasangan calon (paslon) capres dan cawapres menghasilkan angka tidak jauh berbeda. Dari tiga paslon yang mengikuti kontestasi pilpres tersebut, elektabilitasnya tidak ada yang mencapai 50+1 persen. (https://www.rri.co.id/pemilu/548619/survei-lksp-sebut-pilpres-2024-akan-berlangsung-dua-putaran)

Lantas, apa dampaknya apabila pemilu dilaksanakan dengan skenario 2 (dua) putaran? Untuk melihat situasi ini pertama kita harus berkaca pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Provinsi DKI Jakarta pada 2017 lalu. Penulis mengambil contoh Pilkada DKI Jakarta karena Ibukota adalah Indonesia mini, sebagaimana kita ketahui DKI Jakarta menjadi tujuan perantauan masyarakat dari seluruh daerah di Indonesia. Sehingga menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dari berbagai latar belakang suku, agama, ras.

Tahapan pilkada DKI Jakarta dihiasi gelombang unjuk rasa besar-besaran hingga salah satu calon dipenjara.  Gelombang unjuk rasa massa terjadi di berbagai daerah hingga puncaknya demo besar-besaran di Jakarta pada 4 November dan 2 Desember 2016. Beberapa analis menyebutkan bahwa persaingan Pilkada DKI Jakarta ‘beraroma’ pilpres, karena masing-masing pasangan memiliki tokoh politik besar di belakangnya. (https://metro.tempo.co/read/1045103/kaleidoskop-2017-pilkada-brutal-gubernur-dki-jakarta)

Memang pada dasarnya pemicu konflik di Pilkada DKI Jakarta adalah blunder dari salah satu Paslon ketika melakukan Pidato yang kemudian viral di dunia sosial dan meningkat menjadi isu SARA. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu tokoh politik yang maju sebagai Capres pada perhelatan Pemilu 2024 merupakan tokoh yang sama ketika maju dalam Pilkada DKI 2017 tentu memiliki latar belakang simpatisan yang sama dan relatif memiliki fanatisme tinggi. Sehingga bukan tidak mungkin suatu blunder dari masing-masing paslon yang maju dalam pemilu 2024 ini bisa dijadikan delik hukum sehingga mengulangi konflik social sebagaimana yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta pada 2017 Lalu.

Oleh karena itu, penting bagi kita menyadari potensi dampak sosial yang terjadi sehingga dapat diupayakan langkah-langkah pencegahan melalui penguatan nilai-nilai Pancasila dan harmonisasi di masyarakat sehingga meminimalisir potensi terjadinya konfilk sosial serupa di Pemilu 2024 ini.

Tokoh masyarakat baik itu tokoh agama maupun tokoh sosial memiliki peranan penting dalam penguatan nilai-nilai Pancasila dan harmonisasi di masyarakat. Stakeholder terkait yang memiliki tupoksi penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat wajib menggandeng para tokoh masyarakat dalam harmonisasi di masyarakat melalui dialog-dialog ringan secara informal di masing-masing keterwakilan kelompok masyarakat. Jadi tidak harus melalui metode sosialisasi formal mengumpulkan banyak orang cukup menggunakan metode informal dengan obrolan ringan di warung kopi dengan topik-topik kebangsaan yang menyatukan.

Satuan Polisi Pamong Praja sebagai Stakeholder yang dalam hal ini menjadi leading sector dalam penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di daerah wajib melakukan penyuluhan dengan menyampaikan pesan-pesan kebangsaan terhadap perkumpulan-perkumpulan yang ditemui secara formal melalui giat patroli wilayah sebagai bentuk deteksi dini terhadap potensi gangguan nyata yaitu konflik sosial berbentuk SARA. Selain menyampaikan pesan secara formal, anggota Satuan Polisi Pamong Praja juga memiliki tanggung jawab moral secara pribadi untuk melakukan penyuluhan secara informal minimal terhadap keluarga dan lingkungan tempat tinggal masing-masing

Sumber:

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi Undang-Undang;
  2. https://metro.tempo.co/read/1045103/kaleidoskop-2017-pilkada-brutal-gubernur-dki-jakarta;
  3. https://www.rri.co.id/pemilu/548619/survei-lksp-sebut-pilpres-2024-akan-berlangsung-dua-putaran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *