PARADOKS KETERTIBAN UMUM “HAKIKAT KEPATUHAN PARIPURNA TERCIPTA BUKAN DARI RASA TAKUT”

Artikel Berita dan Informasi

OPINI

Penulis: Rizky Anugrah Perdana, S.H.

Profesi: Polisi Pamong Praja Ahli Pertama Kabupaten Belitung

PARADOKS KETERTIBAN UMUM

“HAKIKAT KEPATUHAN PARIPURNA TERCIPTA BUKAN DARI RASA TAKUT”

Dalam Kamus Istilah Hukum, tertib dalam bahasa Belanda adalah Rechtsorde yaitu keadaan dalam masyarakat berjalan seperti apa yang dikehendaki dan menjadi tujuan dari hukum dan segala sesuatu dilakukan sesuai dan selalu didasarkan pada hukum. Ketertiban artinya aturan peraturan, kesopanan, perikelakuan yang baik dalam pergaulan, keadaan serta teratur baik. (Jonaedi Efendi dkk, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta, KENCANA, 2016). h. 188.) Ketertiban umum adalah prinsip mendasar dalam menjaga kehidupan berdampingan yang damai dan berfungsi dalam masyarakat. Pemahaman tentang bagaimana norma-norma sosial, hukum, dan etika saling berinteraksi untuk membentuk kerangka kerja yang memastikan keseimbangan antara hak-hak individu dengan kepentingan bersama. (Annisa Rahmadanita “(TREN PENELITIAN KETERTIBAN UMUM (PUBLIC ORDER): SEBUAH PENDEKATAN BIBLIOMETRIK” Jurnal Tatapamong 5 (1), Maret 2023: 81-100).

Dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, penyelenggaraan roda pemerintahan perlu didukung kondisi yang tenteram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggaraan roda pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan arnan. Ketentraman dan ketertiban umurn merupakan salah satu faktor yang mendukung terciptanya kondisi yang kondusif.

Secara fllosofis, negara sebagai pernegang mandat dari rakyat bertanggungjawab untuk menyelenggarakan ketertiban umum sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Dalam hal lni, posisi negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public service) dari pengguna layanan. Dengan demikian untuk mewujudkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, pemerintah berwenang menetapkan kebijakan dalam bentuk peraturan yang diikuti dengan adanya pengawasan dan penegakan hukum dalam hal ini aparat penegak hukum.

Sayangnya, fakta yang terjadi dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, masyarakat masih salah menginterpretasikan hal ini sebagai beban yang menyiksa bagi masyarakat, padahal konsep yang benar ketertiban dan ketentraman masyarakat adalah hak masyarakat dan wajib dipenuhi oleh Negara. Dengan demikian, ketika pemerintah dalam hal ini representasi dari Negara menetapkan kebijakan dalam bentuk peraturan serta melengkapinya dengan sistem pengawasan dan penegakan, bukan kepatuhan terhadap nilai dan norma hukum dalam aturan yang dijunjung tinggi, tapi pola pikir yang tertanam justru menjunjung tinggi rasa ketakutan terhadap sistem pengawasan dan penegakan yang ada dalam hal ini takut kepada aparat yang mengawasi dan menegakkan hukum yang akan memberikan sanksi sewaktu terjadi pelanggaran.

Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan bentuk “kesetiaan” masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh sesama anggota masyarakat. (S. Maronie, Kesadaran Kepatuhan Hukum). Dengan demikian kepatuhan pada aturan yang berlaku bukan di sebabkan oleh adanya sanksi yang tegas atau hadirnya aparat negara,. Kepatuhan adalah sikap yang muncul dari dorongan tanggung jawab sebagai warga negara yang baik.

Dampak dari rasa ketakutan masyarakat terhadap aparat penegak hukum adalah tidak optimalnya penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Masyarakat menjadi patuh dikarenakan kehadiran aparat penegak hukum bukan karena menjunjung tinggi nilai dan norma yang terdapat dalam peraturan. Sehingga ketidakhadiran aparat dianggap sebagai kemerdekaan bagi masyarakat. Tentu potensi pengulangan pelanggaran akan menjadi lebih tinggi karena ketidakhadiran aparat menjadi peluang bagi masyarakat untuk berperilaku bebas tanpa terikat aturan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Padahal konsep awalnya peraturan dan kebijakan dibuat pemerintah untuk memenuhi hak masyarakat untuk hidup menikmati kondisi Negara yang aman, tertib, teratur namun justru diingkari oleh masyarakat itu sendiri yang menginginkan hidup bebas tanpa diatur.

Menurut Soerjono, hakikat kepatuhan hukum memiliki 3 (tiga) faktor yang menyebabkan warga masyarakat mematuhi hukum, antara lain:

  • Compliance, bentuk kepatuhan hukum masyarakat yang disebabkan karena adanya sanksi bagi pelanggar aturan tersebut, sehingga tujuan dari kepatuhan hanya untuk terhindar dari sanksi hukum yang ada;
  • Identification, bentuk kepatuhan hukum di masyarakat yang di sebabkan karena untuk mempertahankan hubungan yang menyenangkan dengan orang atau kelompok lain;
  • Internalization, bentuk kepatuhan hukum masyarakat di karenakan masyarakat mengetahui tujuan dan fungsi dari kaidah hukum tersebut, sehingga menyebabkan masyarakat patuh kepada peraturan tersebut. (Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: CV. Rajawali,1982), 152)

Penulis meyakini dengan mengetahui ketiga jenis kepatuhan ini maka kita dapat mengidentifikasi apabila warga masyarakat yang menaati suatu undang-undang hanya dengan ketaatan yang bersifat compliance atau identification, berarti kualitas kepatuhan itu masih rendah karena kepatuhan ini didasarkan kepada rasa takut. Menurut penulis konsep kepatuhan yang paripurna adalah kepatuhan yang bersifat internalization karena didasari oleh pemahaman akan tujuan dan fungsi dari kaidah hukum dan norma dalam aturan yang dibuat pemerintah. Artinya masyarakat yang menerapkan konsep kepatuhan ini mengerti bahwa aturan dibuat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemenuhan hak untuk menikmati hidup di Negara Indonesia dalam kondisi aman, kondusif dan teratur.

Sumber:

  1. Annisa Rahmadanita “(TREN PENELITIAN KETERTIBAN UMUM (PUBLIC ORDER): SEBUAH PENDEKATAN BIBLIOMETRIK” Jurnal Tatapamong 5 (1), Maret 2023: 81-100;
  2. Jonaedi Efendi dkk, “Kamus Istilah Hukum”, (Jakarta, KENCANA, 2016). h. 188;
  3. Maronie, “Kesadaran Kepatuhan Hukum”;
  4. Soerjono Soekanto, “Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum” (Jakarta: CV. Rajawali,1982), 152.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *